Rabu, 13 Januari 2010

TODDO PULI TEMMALARA: JENDELA DENGAN KACA YANG BENING TENTANG MANUSIA LUWU

Oleh Mashadi Said (Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia).
Disajikan pada Festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading Di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Indonesia Tanggal 10-14 Desember 2003.
Abstrak Sejarah panjang perjalanan manusia Luwu dimulai sejak kehadiran Tomanurung di Tanah Luwu, kehadiran Islam sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang serta kemerdekaan yang diwujudkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perjalanan panjang itu, sebagai suatu masyarakat yang berdaulat, Luwu memiliki kekayaan budaya. Wujud kebudayaan disimbolkan dengan sebuah ungkapan yang sangat terkenal di kalangan manusia Luwu, yaitu “Toddo Puli Temmalara”. Ungkapan ini telah diabadikan pada sebuah monumen yang berdiri tegak di jantung Kota Palopo, Luwu yang merupakan “jendela dengan kaca yang bening” adalah untaian kata yang memiliki makna yang dalam mengenai manusia luwu. Toddo Puli Temmalara mengandung makna seperti yang tergambar dalam konstruk berikut: Sadda, mappabati Ada Ada, mappabati Gau Gau mappabati Tau Tau … sipakatau Mappaddupa Nasaba Engkai Siri’ta nennia Pesseta Nassibawai Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng, tenricau, maradeka nennia assimellereng Makkatenni Masse ri Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena Alla Taala Berdasarkan konstruk inilah, manusia Luwu berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Kata Kunci: Toddo Puli Temmalara, mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng, maradeka PENDAHULUAN Jika pada sajian ini digunakan istilah “manusia Luwu”, maka yang perlu dicatat adalah istilah ini tidak bermaksud mendeskripsikan manusia Luwu seadanya (seperti pengamatan seorang sosiolog di lapangan). Deskripsi ini berusaha memberikan suatu konstruk teoretis tentang konsep jati diri manusia Luwu menurut paham Max Weber, yakni “bebas” dari realitas. Jadi, gambaran tentang manusia yang dideskripsikan pada paparan ini adalah sesuatu yang abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga manusia Luwu. Gambaran itu merupakan hasil dari pengalaman, penghayatan, yang selanjutnya dikonstruksikan secara analitik. Konstruk teoretis tentang jati diri manusia Luwu yang dipaparkan dalam makalah ini merupakan perwujudan dari analisis mengenai kepustakaan Luwu yang disebut Lontara, hasil-hasil analisis para cendekiawan mengenai peradaban Luwu dan Bugis pada umumnya, serta pengalaman yang kami terima sebagai putra luwu, yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah Luwu. Kepustakaan yang digunakan untuk mengembangkan konstruk tentang manusia Luwu meliputi berbagai Lontara, seperti Lontara Paseng, Lontara Maplina Sawerigading Ri Saliweng Langi, Lontara Sukkuna Wajo, dan Lontara Latoa, serta berbagai hasil kajian dan pemikiran cendekiawan, seperti Mattulada, Zainal Abidin Farid, Hamid Abdullah, Fachruddin Ambo Enre, Anhar Gonggong, Harvey, Daeng Mattata, Daeng Mangemba, Andaya, dan lain-lain mengenai manusia Luwu dan Bugis pada umumnya. KONSTRUK MANUSIA LUWU Dari data yang ditemukan dalam kepustakaan Luwu serta hasil-hasil kajian para cendekiawan manusia Luwu dapat dikonstruksikan sebagai berikut: Sadda, mappabati Ada (Bunyi mewujudkan kata) Ada, mappabati Gau (Kata mewujudkan Perbuatan) Gau, mappabati Tau (Perbuatan Mewujudkan Manusia) Tau … sipakatau (Manusia Memanusiakan Manusia) Mappaddupa (Membuktikannya dalam Dunia Realitas) Nasaba (Karena) Engkai Siri’ta nennia Pesseta (Kita Memiliki Siri dan Pesse) Nassibawai (Disertai dengan) Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng, tenricau, maradeka nennia assimellereng (Kesucian hati, kejujuran, keteguhan, keberanian, kerja keras dan ketekunan, kecendekiaan, daya saing yang tinggi, kemerdekaan, kesolideran) Makkatenni Masse ri (Berpegang teguh pada) Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena (Panngadereng serta bertawakal kepada) Alla Taala (Kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa) Konstruk tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Bunyi merupakan hasil dari persentuhan benda-benda atau keadaan yang menghasilkan nuansa khas, berupa bunyi-bunyi. Bunyi-bunyi itu dipandang khas dan memiliki nilai serta kekuatan yang dianggap luar biasa. Anggapan atas kekuatan itu dihubungkan dengan ilmu gaib yang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuatan lahir maupun batin. Hal inilah yang menimbulkan dorongan kuat yang menampilkan pribadi yang teguh dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan yang terjelma sebagai sikap, prilaku dan temperamen, baik pada individu maupun pada kelompok masyarakat. Orang-orang tua atau leluhur Luwu menamakannya ilmu-ilmu gaib itu sebagai paddissengeng, dengan segala macam bentuknya, seperti sadda tellu. Sadda paggerra, sadda paremma, cenningrara, dan akebbengeng, wawangpurane. Jika kata-kata yang digunakan dalam paddissengeng tersebut dianalisis secara cermat, maka dijumpai suatu makna yang amat meresap ke dalam emosi seseorang yang menimbulkan dorongan yang kuat yang menciptakan pribadi yang tangguh untuk menguasai dunia makro kosmos. Sebagai contoh, untuk memberi keyakinan pada seseorang dalam menghadapi masalah supaya nyali dan keberaniannya bertambah, wawangpurane (kelaki-lakian) berikut dibaca ketika bangun tidur pada pagi hari atau sebelum meninggalkan tempat tidur sambil duduk bersila, atau ketika menghadapi lawan-lawan di medan tempur atau dalam negosiasi-negosiasi lainnya. Bulu temmaruttunna Alla Taala kuonroi maccalinrung; Engkaga balinna Alla Taala na engka balikku; Mettekka tenribali, massadaka tenri sumpala (Gunung yang kokoh kuat milik Allah Yang Maha Tinggi yang kutempati berlindung; Tidak ada yang dapat menandingiku, kecuali jika ada yang dapat menandingi Allah yang Maha Kuasa; Kalau saya berbicara, tidak ada lagi yang dapat menyahut, dan kalau saya berpendapat, tidak ada lagi yang bisa menyanggah) Sadda atau bunyi sebagai fenomena dalam alam raya ini memberi manfaat yang amat besar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya karena bunyi-bunyi itu memampukan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, bunyi-bunyi itu terwujud dalam suatu susunan yang mengandung makna yang disepakati secara bersama. Susunan atas bunyi-bunyi itulah yang disebut “ada” atau kata. Ada atau kata itu digunakan manusia untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran tentang suatu benda atau tindakan. Jadi, “ada mappabati gau” mengandung makna bahwa bunyi-bunyi yang terwujud berupa kata yang dicetuskan oleh manusia harus serasi dengan tindakan dalam dunia realitas. Bagi manusia Luwu keserasian antara perkataan dan perbuatan (ada na gau) adalah perwujudan dirinya sebagai tau (manusia). Dengan kata lain, individu yang tidak menyerasikan antara perkataan dan tindakannya berarti melanggar etika dan martabat kemanusiaan “ia ada ia gau, taro ada taro gau’ adalah ungkapan yang menegaskan pendirian manusia Luwu untuk selalu menyerasikan antara “perkataan” dan “perbuatan”. Dalam pandangan etika Luwu perbuatan individu tidak dapat dipisahkan dengan individu lainnya karena dilandasi suatu prinsip pemuliaan martabat manusia yang dalam ungkapan Luwu disebut “Tau Sipakatau”. Seseorang dapat disebut manusia kalau ia dapat menempatkan dirinya sebagai “tau” yang berarti bahwa “kata dan prilakunya itu mendudukkan posisi manusia pada posisi sebagai manusia yang bermartabat. Prinsip “Tau Sipakatau” itu merupakan pangkal bagi segala sikap dan tindakan manusia Bugis dalam hidupnya. Jadi, semuanya berpusat pada manusia itu sendiri. Manusia (tau) lah yang menjadi penanggungjawab atas harkat dan martabatnya sebagai manusia. Menurut Mattulada (1996) harkat dan martabat yang menjadi “syirrun” atau “asrar” yang berarti hakikat seseorang yang pada lidah orang Bugis pada umumnya berarti “siri”, juga bermakna kalbu atau nurani manusia. Siri itulah menjadi fokus bagi segala upaya manusia merealisasi diri dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatannya. Siri pulalah yang membawanya ke dalam interaksi sosial, yang secara bersama terikat dalam “Pesse”, yang berarti daya dorong yang kuat untuk mengambil tindakan “Siri”. Karena itu, apabila terjadi masalah “Siri”, maka sebagai wujud kendalinya adalah kadar “Pesse” yang ada pada diri setiap individu. Individu yang memiliki nyali yang besar akan mengambil langkah yang besar pula, sedangkan individu yang memiliki nyali yang kecil akan bertindak pula sesuai dengan kadar nyalinya. “Siri” dan “Pesse” adalah dua unsur yang memiliki muatan utama atau keutamaan pada “Tau”, manusia secara individu. Berdasarkan pandangan itu terwujudlah performansi khas manusia Luwu yang tersimpul dalam sebuah frase atau ungkapan, yaitu: TODDO PULI TEMMALARA. Toddo Puli bermakna tertancap dengan kuat, berketetapan hati secara sungguh-sungguh; temmalara bermakna tidak goyah. Jadi, toddo puli temmalara berarti berketetapan batin yang kuat dan tidak tergoyahkan. Toddo Puli Temmalara ri Wawang Ati Mapaccinnge Nassibawai Alempureng (Teguh tak Tergoyahkan pada Hati yang Suci-bersih disertai dengan Kejujuran) Ati mapaccing berarti bawaan hati yang baik. Manusia Luwu dan manusia Bugis pada umumnya menjadikan bawaan hati, niat atau pikiran yang baik sebagai “perisai” dalam kehidupan. Dalam Paseng disebutkan: “Duai Kuala Sappo, unganna panasae, belo kanukue.” (Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.) Buah nagka disebut “lempu” . Kata ini juga bisa berarti “kejujuran”, dan “belo kanuku” disebut “pacci” yang kalau ditulis dalam aksara Bugis dapat dibaca “paccing” yang berarti “kesucian.” Pada acara pernikahan, kedua benda ini, yaitu pacci dan lempu merupakan hal yang sangat penting untuk diadakan karena simbol ini mengandung makna yang sangat dalam yang mewarnai kehidupan manusia Luwu dan Bugis pada umumnya, yaitu kesucian dan kejujuran. Hal ini merupakan modal utama dalam mengharungi kehidupan keluarga dan sebagai anggota masyarakat. Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Luwu, hati dan pikiran yang baik akan menghasilkan kebaikan dalam kehidupan. Dalam Lontara disebutkan: Empat hal yang membawa kepada kebaikan: Pikiran yang benar, Jualan yang halal, Melaksanakan perbuatan benar, Berhati-hati menghadapi perbuatan buruk Dalam kehidupan sehari-hari manusia Luwu, harus selalu bersikap waspada terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat melunturkan niat atau bawaan hati yang baik karena niat yang baik kadang-kadang dapat terkalahkan oleh dorongan-dorongan nafsu keserakahan dan buruk lainnya, yang selanjutnya membangkitkan niat-niat yang jahat. Dalam Paseng disebut: Empat macam yang memburukkan niat dan pikiran, yaitu (i) kemauan, (ii) ketakutan, (iii) keengganan, dan (iv) kemarahan. Di samping hati yang tulus, bawaan hati dan pikiran yang baik, yang menjadi perisai dalam kehidupan manusia Luwu, kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar. Lempu (lurus, kejujuran) lawan katanya adalah jekko (bengkok, culas, curang, dusta, khianat, seleweng, tipu, dan semacamnya). Menurut Lontara, manusia yang jujur memiliki empat ciri, yaitu: (i) ia dapat melihat kesalahannya sendiri, (ii) mampu memaafkan kesalahan orang lain, (iii) kalau ia diberi kepercayaan untuk menangani suatu urusan, ia tidak berhianat, dan (iv) ia menepati janji yang diucapkan. Bagi manusia Luwu, orang yang jujur adalah manusia yang menjadikan dirinya sebagai titik tolak. Dalam ungkapan disebutkan: Kabbecci alemu iolo inappa mukabbecci taue lainnge (cubit dirimu lebih dahulu sebelum engkau mencubit orang lain). Dalam ungkapan lain disebutkan: Apabila engkau menghendaki agar sesuatu dikerjakan orang banyak, umpamakanlah perahu, apabila engkau suka menaikinya, perahu itulah yang engkau gunakan untuk memuat orang lain, itulah yang dimaksud kejujuran. Maksud kutipan ini adalah setiap orang haruslah bersikap fair. Orang yang jujur selalu memperlakukan orang lain menurut standar yang diharapkan dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati orang lain, sebagaimana ia menghormati dirinya sendiri. Ia menghormati hak-hak orang lain sebagaimana ia menghormati hak-haknya. Manusia yang dapat berlaku jujur terhadap orang lain adalah manusia yang dapat berlaku jujur pada dirinya sendiri. Pada saat Raja Luwu menerima Datuk Sulaiman yang akan mengajaknya memeluk Islam, dia berjanji memeluk Islam dengan ketentuan bahwa Datuk Sulaiman harus bisa mengalahkan kelebihan-kelebihan Raja yang harus dipersandingkan terlebih dahulu. Tetapi setelah Raja kalah dalam persandingan itu, dia dengan tulus dan ikhlas menerima kekalahannya. Ia tidak mangkir dari janjinya dan bersikap fair atas kekalahannya. Akhirnya, Raja menerima Islam sebagai agamanya, yang selanjutnya diikuti oleh rakyatnya. Sikap jujur dan fair yang telah ditunjukkan oleh Raja dalam persandingan itu merupakan manifestasi dari jati diri manusia Luwu. Toddo Puli Temmalara ri Assimellerennge (Teguh tak Tergoyahkan pada Persaudaraan) Assimellereng mengandung makna kesolideran, kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lain, atau antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang juga dikenal dengan konsep sipa’depu-repu (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan kesulitan sanak keluarga, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette perru. Bagi manusia Luwu, kesetiaan pada persaudaraan adalah keharusan. Dalam kehidupan sehari-hari, manisfestasi tentang kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan: Tejjali tettappere banna mase-mase (Kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada Tuan: tiada permadani, sofa empuk untuk mendudukkan Tuan. Yang kami miliki hanyalah kasih sayang). Bagi manusia Luwu menghargai tetamu adalah keharusan. Maka tidak jarang kita jumpai seorang tuan rumah sibuk mempersiapkan makanan yang sangat lezat bagi tetamunya, padahal dia sendiri tidak melakukannya dalam kehidupanya sehari-hari. Hal ini dilakukan hanyalah semata-mata untuk memberikan yang terbaik kepada saudaranya, sesamanya. Adapun syarat eratnya persaudaraan itu meliputi 5 hal, yaitu (1) mau sependeritaan, (2) sama-sama merasakan kegembiraan, (3) rela memberikan harta benda sewajarnya, (4) ingat mengingatkan pada hal-hal yang benar, dan (5) selalu saling memaafkan. Dasar persaudaraan itu dapat terlimpul dalam ungkapan berikut. Mali siparappe, malilu sipakainge Sirebba tannga tessirebba pasorong Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong Siwata menre, tessirui no. (Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut, Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata Saling mengangkat dan tak saling menjatuhkan) Berbeda pendapat, tetapi tidak menyebabkan adu kekuatan) Dalam Mapalina Sawerigading Ri Saliweng Langi, Sawerigading sebagai tokoh sentral dalam cerita menunjukkan kesetiakawanan yang sangat tinggi seperti tertera dalam kutipan berikut: … janganlah ada di antara kita sudi kembali ke Luwu sebagai mayat hidup. Satu nyawa bagi kita bersama, … Pada kutipan itu tergambar bahwa kesetiakawanan adalah segala-galanya, walaupun nyawa sebagai taruhannya. Toddo Puli Temmalara ri Resoe (Teguh tak Tergoyahkan pada Usaha) Reso berarti usaha dan tinulu berarti tekun. Dalam ungkapan disebutkan: Resopa natinulu kuae topa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata (Hanya dengan usaha/kerja keras disertai dengan ketekunan sering menjadi titian rahmat Ilahi). Ungkapan itu memberi petunjuk bagi manusia Luwu bahwa tidak akan ada rizki yang melimpah tanpa disertai dengan kerja keras. Artinya, untuk mendapatkan rizki (dalle) tidak dapat diperoleh dengan hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Rizki tidak boleh diperoleh dengan meminta-minta atau mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Dalam ungkapan lain disebutkan: “Wahai anak-anak! Tidak adakah pekerjaannmu sehingga engkau tinggal nongkrong di pinggir jalan. Jika tidak ada, pergilah ke Baruga (balai pertemuan) mendengar soal adat, ataukah ke pasar mendengar warkah para penjual”. Ungkapan di atas memberi himbauan kepada para pemuda untuk mencari bekal hidup (life skill) berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan agar dapat menjadi modal hidup untuk berusaha. Selanjutnya, dalam ungkapan yang berbeda ditekankan: “Janganlah membiasakan dirimu pada empat jenis perbuatan: (1) meminta-minta, (2) meminjam-minjam, (3) memperoleh upah dari suruhan orang lain, dan (4) menumpang makan pada orang lain”. Ungkapan di atas menunjukkan ajaran kemandirian. Perbuatan meminta-minta, meminjam, memperoleh upah dari suruhan orang lain, serta menumpang makan di rumah orang lain termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Setiap orang haruslah berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mendapatkan rizki yang halal (massappa dalle hallala). Manusia Luwu harus yakin (toddo puli) bahwa dalam meniti kehidupan, keberhasilan hanya dapat diperoleh melalui kerja keras dan ketekunan serta memanfaatkan akal pikiran atau ilmu pengetahuan. Seorang lelaki pemalas, enggan bekerja keras, atau tidak mempunyai kepandaian dan keterampilan hidup amat tercela dalam adat Luwu. Orang yang demikian itu tidak dipandang sebagai pria, tetapi dipandang sebagai banci. Dalam ungkapan disebutkan: Empat macam sifat lelaki sehingga ia dipandang sebagai wanita dan tidak diperhitungkan sebagai lelaki, yaitu: (1) ia pemalas, (2) ia lemah, (3) ia dungu, dan (4) ia bodoh. Dalam ungkapan ini tergambar dengan jelas bahwa, ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta ketekunan berusaha dalam meniti kehidupan ini sangat diperlukan. Dengan demikian, seorang yang memperoleh harta benda dengan cara yang tidak benar seperti bertindak korup sangat tercela dalam adat Luwu dan Bugis pada umumnya. Hal ini tergambar pada ketetapan Sawerigading untuk selalu menjaga nama baik negeri Luwu pada saat ia ditawarkan untuk berdamai dengan raja di negeri Saliweng Langi, Guttu Tellamma. Guttu Tellemma menawarkan hadiah berupa sejumlah harta benda berharga kepada Sawerigading asal Sawerigading mau melupakan pertikian di antara mereka. Tetapi, Sawerigading menolak menerima tawaran itu. Dia pantang menerima suap dari mana pun. Usaha keras dan kegigihan untuk mencapai keberhasilan tergambar pula dalam peristiwa perjuangan Sawerigading untuk mempersunting We Cudai di Tanah Cina. Walaupun Sawerigading harus menghadapi berbagai macam tantangan, ia tak pernah gentar hingga usahanya benar-benar berhasil. Toddo Puli Temmalara ri Panngaderennge (Teguh tak Tergoyahkan pada Panngadereng) Panngadereng, yaitu Ade (adat), Rapang (undang-undang), Wari (aturan perbedaan pangkat kebangsaan), Bicara (ucapan, bicara), dan Syara (hukum syariat Islam). Yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut adalah asas. Mappasilassae, diwujudkan dalam manisfestasi ade agar terjadi keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam panngadereng. Di dalam tindakan-tindakan operasionalnya, ia menyatakan diri dalam usaha-usaha mencegah sebagai tindakan penyelamatan. Mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk keberlangsungan pola-pola yang sudah ada lebih dahulu guna stabilitas perkembangan yang muncul. Hal ini dinyatakan dalam rapang. Mappallaiseng diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk memberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan lembaga-lembaga sosialnya, sehingga masyarakat terhindar dari ketiadaan ketertiban, dan kekacaubaluan. Hal ini dinyatakan dalam wari dalam segala variasi perlakuannya Mappasisaue, diwujudkan dalam manisfestasi ade untuk menimpakan deraan pada setiap pelanggaran ade yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini adanya pedoman legalitas dan represif yang sangat konsekuen dijalankan. Di samping itu asas ini dilengkapi dengan siariawong yang diwujudkan dalam manifestasi ade untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik setiap orang untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Syara adalah aturan syariat Islam yang menjadi unsur panngadereng. Bagi masyarakat Luwu dan Bugis pada umumnya, panngadereng merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena: Manusia Luwu telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial budayanya dan telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada panngaderenglah ketenteraman dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin. Sistem sosial berdasarkan ketetapan panngadereng telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Luwu. Mereka percaya dan sadar bahwa hanya dengan panngaderenglah pola hidupnya, kepemimpinannya serta segala bentuk interaksi sosialnya dapat terwujud. Di dalam pangngadereng terdapat unsur kepercayaan yang hakiki yang harus ditaati. Karena dengan pangngadereng itulah, pola tingkah laku yang terbimbing sehingga pemimpin dapat bersikap lebih jujur, arif, serta berpihak kepada orang banyak. Bagi masyarakat Luwu, adat adalah segala-galanya. Seseorang hanya tunduk pada peraturan-peraturan adat menurut hukum-hukum yang yang telah disepakati. Adat menjamin kebebasan mereka dan tidak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan adat. Masyarakat bersama-sama dengan pemimpinnya menentukan nasib masa depannya. Perlakuan sewenang-wenang dari seorang penguasa tidak mendapat tempat dalam sistem panngadereng. Bagi masyarakat Luwu dan Bugis pada umumnya adat adalah tuannya, bukan penguasa. Baik pemimpin maupun masyarakat harus tunduk dan taat pada adat atau hukum yang berlaku. Dalam Lontara Sukkuna Wajo ditegaskan: Maradekakeng, tanaemi ata, ade assiturenna Wajo napopuang. (Kami merdeka, hanya negeri yang abdi, hukum yang telah disepakatilah yang kami pertuan.) Toddo Puli Temmalara ri Taro Taumaegae (Teguh tak Tergoyahkan pada Ketetapan Orang Banyak) Lontara telah menempatkan manusia pada posisi yang amat penting. Ia menempati sebagai posisi subjek yang mempunyai peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan bernegara, rakyat adalah segala-segalanya. Bilamana dalam suatu perkara, terdapat ketidaksepahaman di antara pemimpin dan masyarakat, maka hal itu harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam sebuah ungkapan disebutkan: Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega (Batal ketetapan raja, tak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tak batal ketetapan kaum, Batal ketetapan kaum, tak batal ketetapan orang banyak (rakyat) Ketika putri raju Luwu terserang penyakit kulit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga sangat menghawatirkan berjangkitnya kepada masyarakat, maka datanglah utusan rakyat menghadap Raja. Wakil rakyat berkata: Tuanku, mana yang Engkau sukai Telur yang Satu, atau Telur yang Banyak? Raja yang sangat peka terhadap ungkapan rakyatnya itu sangat memahami bahwa yang dimaksud dengan Telur yang Satu adalah putrinya sendiri yang sedang sakit itu dan Telur Yang Banyak adalah rakyatnya. Maka berkatalah raja: Tentu saja saya sangat mengutamakan Telur Yang Banyak. Akhirnya, puteri yang sangat dicintainya itu dikeluarkan dari istana dan dialirkan ke sungai yang akhirnya terdampar pada suatu tempat yang bernama sakkoli (sekke uli) di daerah Wajo saat ini. Raja hanya bisa bertawakkal kepada Yang Maha Kuasa agar putrinya mendapat pertolongan dari Yang Maha Kuasa (mappasanre ri elo ullena Alla Taala). Raja sebagai seorang pemimpin amat memegang teguh pada kewajibannya, sebagaimana disebutkan dalam Lontara: Engkau kuselimuti supaya tidak kedinginan, (terhindar dari bahaya dan berbagai kesukaran) Engkau kujaga bagaikan mengusir burung pipit supaya tanaman padi tidak hampa (Raja menjaga jiwa rakyat dan harta benda) Saya membela kesalahan-kesalahanmu. (Raja mendengar semua keluh kesah rakyatnya) Ungkapan di atas, menegaskan pengayoman raja terhadap rakyatnya. Ia rela menjadi “payung” bagi rakyatnya. Kedudukan rakyat dalam struktur sosial manusia Luwu dan Bugis telah mendapat tempat yang terhormat dan diusahakan untuk selalu dilindungi. Kondisi sosial yang menempatkan manusia pada kedudukan yang tidak terbelenggu oleh tradisi dan tidak dijadikan sebagai objek politik oleh penguasa telah memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, baik yang menyangkut masalah kedamaian hidup yang selalu didambakan oleh setiap manusia di muka bumi, maupun masalah yang menyangkut kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat di dalam dirinya. Kondisi sosial yang menguntungkan ini, menjadikan manusia Luwu dapat stabil dalam memelihara harga dirinya dan martabatnya. Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha bertindak secara wajar (sitinaja). Sesuatu yang dibebankan kepada rakyat harus sesuai dengan pertimbangan yang wajar. Komitmen raja selaku pemimpin untuk selalu bertindak wajar tertuang dalam Getteng Bicara di Luwu sebagai beikut: “Takaranku kugunakan untuk menakar, timbanganku kugunakan untuk menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas”. Menurut Abdullah (1985:86), teori kontrak sosial yang diproklamirkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contract Social sesungguhnya telah dijalankan dalam sistem kepemimpinan manusia Luwu dan Bugis kira-kira 300 tahun sebelum teori itu diperkenalkan oleh cendekiawan Eropa yang sedang berusaha menemukan suatu sistem yang paling tepat untuk masyarakatnya pada abad XVIII. Unsur-unsur yang menjadi tekanan Rousseau dalam teorinya itu, seperti kebebasan, batas-batas kekuasaan pemimpin, hak-hak rakyat, peran wakil-wakil rakyat, serta sanksi terhadap penguasa yang melanggar, telah tercipta dalam dunia realitas masyarakat Luwu dan Bugis dan menjadi prinsip hidup masyarakat sejak abad XV.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan uraian konstruk manusia Luwu di atas, manusia Luwu adalah: Pribadi yang menjadikan prinsip “tau sipakatau” (memanusiakan dirinya dan memanusiakan manusia lainnya) sebagai landasannya dalam bertindak. Pribadi khas yang menujukkan performansi yang amat menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia lainnya. Pribadi yang tak gentar menghadapi segala tantangan yang ada di depannya demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Pribadi yang ikhlas berdasarkan hati yang suci dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Pribadi yang jujur pada dirinya sendiri, pada manusia lainnya dan kepada Yang Maha Kuasa, sehingga tercipta suatu tatanan kehidupan yang damai. Pribadi pemimpin yang teguh memegang amanah yang diberikan kepadanya. Berpegang teguh pada panngadereng dan ketetapan orang banyak. Pribadi yang beretos kerja tinggi dalam mengharungi kehidupannya. Pribadi yang bebas dari kekangan dan tekanan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pribadi yang gemar bersaing tetapi solider kepada saudaranya, sesama manusia. Pribadi yang selalu berpegang teguh pada panngadereng serta bertawakkal kepada Allah Yang Maha Kuasa. b. Saran Sosialisasi mengenai kekayaan budaya lokal tidak hanya berhenti pada situasi seminar seperti ini saja, tetapi harus pula didiseminasikan kepada kaum muda sebagai pelanjut generasi mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMU, sampai ke perguruan tinggi. Selanjutnya, konstruk teoretis yang telah tertanam dalam alam pikiran masyarakat pada umumnya harus mendapat tempat yang layak dalam dunia realitas, mulai dari pemimpinnya sampai kepada masyarakatnya. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, H. 1985. Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press. Abdullah, H. 1990. Reaktualisasi Etos Budaya Manusia Bugis. Solo: CV Ramadhani. Ambo Enre, F. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis. Pinisi. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni, 1 (3): 1—32. Daeng Mattata, S. 1976. Luwu dalam Revolusi. Makassar: yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. Mattulada, H.A. (ed.) 1990. Sawerigading: Folktale Sulawesi. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Mattulada. H.A. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar. Dalam Najib, dkk (Ed.) Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (hal. 21---90). Yokyakarta: LKPSM. Punagi, AA. 1993. Pappaseng (Wasiat Orang Dahulu). Ujung Pandang: Proyek Pemibinaan Permuseuman Sulawesi Selatan. Rahim, R. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. Said, Mashadi. 1998. Konsep Jati Diri Manusia Bugis: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Bugis. Disertasi: Universitas Negeri Malang. Weber, M. The Theory of Social and Economic Organization. Terjemahan oleh A.R. Henderson dan Alcott Parson. 1974. London: William Hodge. PAGE PAGE 16

Selasa, 12 Januari 2010

Sebelum Kita Mengeluh

1. Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik, pikirkan tentang seseorang yang tidak
dapat berbicara sama sekali.

2. Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu, pikirkan tentang seseorang yang tidak
punya apapun untuk dimakan.

3. Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa, pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta di
jalanan.

4. Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk, pikirkan tentang seseorang yang berada pada
tingkat yang terburuk di dalam hidupnya.

5. Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istrimu, pikirkan tentang seseorang yang memohon
kepada Allah untuk diberikan teman hidup.

6. Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu, pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu
cepat.

7. Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu, pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin
mempunyai anak tetapi dirinya mandul.

8. Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor karena pembantumu tidak mengerjakan
tugasnya, pikirkan tentang orang-orang yang tinggal dijalanan.

9. Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir, pikirkan tentang seseorang yang
menempuh jarak yang sama dengan berjalan.

10. Dan disaat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, pikirkan tentang pengangguran,
orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda.

11. Sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.

Tentang Saya

to' Palopo...
Sekarang ada di Palu dan masih tercatat sebagai mahasiswa fisika, FKIP-UNTAD